SAAT HARUS MEMULAINYA TANPA PERASAAN CINTA
Dari sebuah siaran radio pagi, terdengar curhatan seorang gadis tentang
persahabatannya dengan seorang teman pria. Telah melalui waktu yang lama
bersama. Sekolah di SMP yang sama, SMA yang sama, bahkan Kampus yang sama.
Teman main band. Dan tinggal berdekatan.
Mereka berdua belum mempunyai pasangan. Akhirnya, berinisiatiflah mereka
untuk menjalin hubungan – pacaran. “Kenapa ga dicoba? Jalanin aja dulu,” pikir
mereka.
![]() |
SAAT HARUS MEMULAINYA TANPA PERASAAN CINTA |
Tapi setelah perjalanan waktu, kehampaan perasaan mengkandaskan hubungan
mereka. Tidak ada perasaan cinta, itu alasannya. “Padahal dia baek banget. Gak
jelek-jelek amat…” Begitu cerita si gadis melalui telepon. Dan mereka berdua
jujur bahwa tak punya ketertarikan satu sama lain dan mereka tak bisa
melanjutkan hubungan itu. Kembalilah dua insan itu dalam taraf hubungan
persahabatan.
Cerita ini menggelitik akal dan perasaan saya, yang telah menikahi
seorang muslimah sekitar 6 tahun lalu tanpa perasaan cinta atau suka
sebelumnya. Agak berbeda dengan cerita curhatan gadis di siaran radio itu, saya
bahkan tidak teralu mengenal pasangan saya saat melamarnya. Perkenalan pertama
kali terjadi difasilitasi oleh pembimbing ruhani kami dan itu pun dengan niat
mencari pasangan untuk menikah di jalan Allah. Setelah dua kali pertemuan, kami
sepakat untuk melanjutkan ke tahapan berikutnya. Dan saya pun mendatangi orang
tuanya untuk melamar beberapa lama kemudian.
Pernikahan telah berjalan yang awalnya sama seperti gadis dan kawannya
itu, tak ada perasaan apa-apa. Kenal pun baru. Tapi kami berhasil membinanya.
Bahkan kini telah dikaruniai dua orang anak. Sekarang, adakah perasaan cinta
itu di antara kami? Insya Allah ada. Saya rasakan.
Lantas, apakah penentu dari dua cerita yang hampir sama namun
berkelanjutan berbeda? Jawabnya adalah niat dan komitmen!
Niat saya dan gadis itu berbeda. Niat saya, ingin mencari pendamping
untuk hidup berdua dengan serius dalam mahligai pernikahan. Sedangkan niat
gadis itu adalah mencoba menjalani hubungan yang kapan pun bisa saja disudahi
tanpa pertimbangan dalam, yang hubungan itu dinamakan pacaran. Komitmen yang
mengikat antara pernikahan dan pacaran tentu sangat berbeda. Pernikahan diikat
oleh sebuah komitmen yang Allah sebut mitsaqon gholizho, sedangkan pacaran tak
ada ikatan itu. Malah ulama mengatakan pacaran itu haram.
Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 21, “Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah
mengambil dari kamu mitsaqon gholizho (perjanjian yang kuat.).”
Niat dan komitmen membuat sebuah ikatan menjadi kokoh dan tak tergoyahkan
oleh pasang surut cinta. Niat membangun rumah tangga yang menghadirkan generasi
Islam yang sehat dan punya manfaat untuk umat, akan berbeda dengan niat pacaran
yang hanya sekedar ingin mendapatkan manis dari saling perasaan cinta.
Dalam rumah tangga sakinah mawaddah warohmah, membangun keluarga adalah
tujuan. Pasangan dianggap sebagai partner menghadirkan keakraban di dalam
keluarga. Yang menjadi perekat adalah cinta kepada Allah swt. Cinta kepada
pasangan bukan perekat yang utama, walau itu adalah pemanis dalam berumah
tangga.
Bila cinta kepada pasangan hilang, ada tanggung jawab untuk menjamin
keberadaan keluarga yang sakinah mawaddah warohmah yang telah dibangun itu agar
tetap utuh. Perpisahan tentu bukan jalan yang baik untuk missi menghadirkan
generasi pembina umat. Tak tega melihat anak hidup dalam broken home. Idealnya
seperti itu.
Tetapi dalam jalinan pacaran, pasangan dianggap sebagai partner yang
harus menghadirkan cinta. Terjadi persaingan adu saling manja. Tak ada
pertimbangan yang dalam bila harus saling berpisah. Karena itu ikatannya rapuh.
Wajar bila orang yang tak terpikirkan untuk membangun komitmen pernikahan
di jalan Allah heran dengan pernikahan yang dimulai tanpa perasaan asmara. Tak
dimulai dengan mabuk kepayang. Wajar mereka heran apakah ikatan seperti ini
bisa bertahan. Karena yang dimengertinya adalah pernikahan itu merupakan muara
dari dua aliran asmara. Tak lebih.
Tapi yang lebih mengherankan lagi bila ada aktivis dakwah yang pacaran
(di luar nikah). Selain mereka harusnya mengerti bahwa pacaran itu berada pada
zona “taqrobuz-zina” (mendekati zina), juga karena mereka yang harusnya paham
bahwa ikatan cinta kepada Allah adalah kokoh malah bersandar pada ikatan asmara
yang kapan pun bisa datang dan bisa hilang.
Bila tiba saatnya aktivis dakwah yang pacaran itu mengikat ikatan mereka
dengan halal, mereka harus meluruskan niat mereka untuk membangun rumah tangga
yang samara dan punya dampak untuk perkembangan Islam.
Mereka harus punya kesadaran bahwa perasaan saling suka yang membuat
mereka pacaran itu kelak bisa hilang – dengan izin Allah – dan komitmen untuk
membangun keluarga yang islami lah yang mereka pegang erat-erat bila rasa
saling suka itu hilang. Bila niatnya untuk sekedar menghalalkan rasa saling
suka, sayang sekali gelar aktivis dakwah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar